Ubi Hutan, Tumbuhan Kaya Manfaat di Kawasan Ekosistem Leuser
Ubi hutan [Dioscorea hispida Dents] atau dalam Bahasa Aceh disebut janeng, merupakan jenis tanaman yang masuk kategori umbi-umbian. Tumbuhan merambat yang dikenal luas dengan nama gadung ini, banyak tumbuh di hutan Aceh, termasuk di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].
Ubi hutan, meski mengandung racun, jika diolah dengan benar akan menjadi makanan kaya karbohidrat. Pejuang-pejuang Aceh yang bertahan di hutan saat melawan penjajah Belanda, memanfaatkannya sebagai makanan pokok, pengganti nasi.
Masyarakat Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, masih mengolah ubi hutan untuk bahan baku kue dan makanan ringan.
Amirah mengatakan, janeng tidak bisa langsung dimakan, harus diolah beberapa hari sebelum dijadikan bahan makanan. “Kalau langsung dimakan bisa keracunan kita.”
Mengolah janeng butuh waktu beberapa hari. Buahnya diambil, dikupas dan ditaburi garam.
“Lalu dimasukkan ke karung dan direndam selama tiga hari, di sungai yang airnya mengalir. Setiap pagi dikeluarin dari karung dan diperas.”
Berikutnya dijadikan bahan makanan, keripik maupun tepung, lalu dijemur. “Banyak jenis kue yang bisa dibuat dari tepung janeng, termasuk sebagai bahan utama cendol,” terang Amirah.
Berdasarkan penelitian La Ode Aman berjudul “Efektifitas Penjemuran dan Perendaman dalam Air Tawar untuk Menurunkan Kandungan Toksik HCN Ubi Hutan [Dioscorea hispida Dennst]” Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo, glikosida sianogenik pada ubi hutan bersifat toksik dan dapat terhidrolisis sehingga membantuk asam sianida [HCN]. Kandungan HCN dapat berkurang bahkan hilang bila dilakukan melalui pengeringan di bawah sinar matahari dan perendaman di air tawar.
Berdasarkan penelitian ini, pengeringan dengan sinar matahari efektif menurunkan kadar sianida sebesar 48,28 persen. Sementara, dengan perendaman dapat menurunkan kadar sianida sekitar 68,24 persen.
Makanan utama
Kepala Desa Kerlang, Kecamatan Syiah Utama, Syam mengatakan, janeng merupakan makanan utama pejuang Aceh saat bergerilya melawan tentara Belanda, sebelum Indonesia merdeka. Umbi-umbian ini juga pernah dikonsumsi masyarakat Samar Kilang saat gagal panen, karena kemarau pada 1970-an.
“Meskipun janeng saat ini merupakan makanan selingan seperti kue, tapi tepungnya pernah menjadi makanan utama masyarakat Samar Kilang. Saat itu, padi gagal panen dan untuk mengakses daerah luar sangat sulit, karena masih jalan setapak,” ungkapnya.
Syam mengatakan, tahun 1970-an, untuk keluar dari Samar Kilang ke Pondok Baru, Kabupaten Bener Meriah, butuh waktu lebih lima hari jalan kaki. Sementara, menuju Kabupaten Aceh Utara, butuh waktu beberapa hari dengan menyusuri sungai dengan rakit.
“Akses sangat sulit, ketika kemarau, masyarakat Samar Kilang saat itu hanya bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka sebagai makanan utama. Salah satunya adalah janeng.”
Menurut Syam, saat itu masyarakat Samar Kilang menjadikan janeng sebagai makanan utama selama empat bulan lebih.
“Kami baru bisa makan nasi kembali setelah padi panen, karena padi yang biasanya disimpan habis semua,” ujarnya.
Dian Islami, Project Officer Yayasan Katahati di Banda Aceh mengatakan, ubi hutan sebenarnya bisa dimanfaatkan masyarakat Samar Kilang untuk meningkatkan ekonomi. Tanaman ini tumbuh sendiri di hutan dan termasuk dalam hasil hutan bukan kayu [HHBK].
“Kami tengah membantu masyarakat Samar Kilang agar bisa memanfaatkan tanaman ini guna meningkatkan perekonomian mereka. Salah satunya, untuk mengalihkan mata pencaharian masyarakat Samar Kilang yang sangat tergantung pada kayu di hutan Leuser,” jelasnya.
Tulisan ini dipublikasikan oleh Mongabay Indonesia tanggal 27 Oktober 2021
Tinggalkan Balasan